Sabtu, 28 Juli 2012

Puisi


TAMAN 

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
 
Taman kembangnya tak berpuluh warna
 
Padang rumputnya tak berbanding permadani
 
halus lembut dipijak kaki.
 
Bagi kita bukan halangan.
 
Karena
 
dalam taman punya berdua
 
Kau kembang, aku kumbang
 
aku kumbang, kau kembang.
 
Kecil, penuh surya taman kita
 
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia


Maret, 1943


Romantis sekali bukan terdengarnya? Seperti yang biasa terlukis pada mimpi-mimpi pasangan muda yang baru saja menikah. Memiliki dunia berdua, membangun sebuah rumah mungil, keluarga yang sederhana tetapi ada kedekatan jarak satu sama lain…. Hmm, Ahmad Albar bilang: Lebih baik di sini rumah kita sendiri…


LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan 
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
 
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
 

Masih saja berpandangan
 
Dalam lakon pertama
 
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
 

Ia mengerling. Ia ketawa
 
Dan rumput kering terus menyala
 
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
 
Darahku terhenti berlari
 

Ketika orkes memulai “Ave Maria”
 
Kuseret ia ke sana…


SAJAK PUTIH 

buat tunanganku Mirat

bersandar pada tari warna pelangi 
kau depanku bertudung sutra senja
 
di hitam matamu kembang mawar dan melati
 
harum rambutmu mengalun bergelut senda


sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba 
meriak muka air kolam jiwa
 
dan dalam dadaku memerdu lagu
 
menarik menari seluruh aku
 

hidup dari hidupku, pintu terbuka
 
selama matamu bagiku menengadah
 
selama kau darah mengalir dari luka
 
antara kita Mati datang tidak membelah…
 

Buat miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
 
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
 
alam ini!
 
Kucuplah aku terus, kucuplah
 
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…


PEMBERIAN TAHU

Bukan maksudku mau berbagi nasib, 
nasib adalah kesunyian masing-masing.
 
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
 
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
 
Aku pernah ingin benar padamu,
 
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
 

Kita berpeluk cium tidak jemu,
 
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
 
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
 
Aku memang tidak bisa lama bersama
 
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!


HAMPA

kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
 
Sampai ke puncak
 
Sepi memagut
 
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
 
Segala menanti. Menanti-menanti.
 
Sepi.
 
Dan ini menanti penghabisan mencekik
 
Memberat-mencengkung punda
 
Udara bertuba
 
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
 
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.


SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
 
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
 
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar