Pengertian Umum
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para
elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung
membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa
pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih
memahami secara teoritis sebagai berikut :
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Budaya politik adalah aspek politik
dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan
rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
<!--[if
!supportLists]-->b. <!--[endif]-->Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Hakikat dan ciri budaya politik yang
menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup
yang berhubungan dengan masalah tujuan.
<!--[if
!supportLists]-->d. <!--[endif]-->Bentuk budaya politik menyangkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap
orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas
kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya
membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi
politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual
ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap
masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan
yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik
hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
<!--[if
!supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pengertian Budaya
Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu
politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi
konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji
lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar,
sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini
merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para
anggota suatu sistem politik.
<!--[if
!supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan
suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan
yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
<!--[if
!supportLists]-->d.
<!--[endif]-->Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
<!--[if
!supportLists]-->e.
<!--[endif]-->Gabriel A. Almond dan G. Bingham
Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik
beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya
politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan,
tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti
orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang
menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik
adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik
yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem
politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik
maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang
terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik.
Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan
melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik,
fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal
orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan sebagainya.
Ketiga
: budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya
politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini
berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi
perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya
sistem politik yang ideal.
<!--[if
!supportLists]-->1. <!--[endif]-->Komponen-Komponen
Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan
dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini
menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya
politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi
afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba
dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils
tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga
komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa
pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala
kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang
obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria
dengan informasi dan perasaan.
<!--[if
!supportLists]-->C.
<!--[endif]-->TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
<!--[if
!supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem
ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi
ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat
”tolerasi”.
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan
tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan
menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan
disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan
membakar emosi.
<!--[if
!supportLists]-->b. <!--[endif]-->Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah
atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama.
Sikap netral atau kritis terhadap ide orang,
tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat
bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan
konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan
dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi
dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap
mental yang absolut memiliki
nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak
atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
<!--[if
!supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia
dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai
kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik
sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan
baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan
dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai
salah satu masalah untuk
dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
<!--[if
!supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya
politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang
dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem
politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik
yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang
berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan
budaya politik sebagai berikut :
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Budaya politik parokial (parochial political culture),
yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor
kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Budaya politik kaula (subyek political culture),
yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Budaya politik partisipan (participant political culture),
yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari
ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di
dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Frekuensi orientasi terhadap
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output,
dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
<!--[if
!supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Tidak terdapat peran-peran politik
yang khusus dalam masyarakat.
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Orientasi parokial menyatakan
alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan
oleh sistem politik.
<!--[if
!supportLists]-->d.
<!--[endif]-->Kaum parokial tidak mengharapkan apapun
dari sistem politik.
<!--[if
!supportLists]-->e.
<!--[endif]-->Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.
<!--[if
!supportLists]-->f.
<!--[endif]-->Parokialisme dalam sistem politik
yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Terdapat frekuensi orientasi
politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek
output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input
secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati
nol.
<!--[if
!supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Para subyek menyadari akan
otoritas pemerintah
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Hubungannya terhadap sistem plitik
secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan
hubungan yang pasif.
<!--[if
!supportLists]-->d.
<!--[endif]-->Sering wujud di dalam masyarakat
di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
<!--[if
!supportLists]-->e.
<!--[endif]-->Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Frekuensi orientasi politik sistem
sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi
sebagai partisipan aktif mendekati satu.
<!--[if
!supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Bentuk kultur dimana
anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap
sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Anggota masyarakat partisipatif
terhadap obyek politik
<!--[if
!supportLists]-->d.
<!--[endif]-->Masyarakat berperan sebagai
aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan
yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan
lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh
tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan
tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki
setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu
mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya
keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu
yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini
merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari
budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki
pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem
politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap
mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik
negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan
merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga
negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga
memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga
sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar
terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang
paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka
adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya
pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik
tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam
sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang
membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga
mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi
politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi
dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam
masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada
satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau
subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam
tiga bentuk budaya politik, yaitu :
<!--[if
!supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Budaya politik subyek-parokial (the
parochial- subject culture)
<!--[if
!supportLists]-->b. <!--[endif]-->Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
<!--[if
!supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Budaya politik parokial-partisipan
(the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau
bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan
politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini cukup banyak
aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian
suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan
partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada,
tetapi seba-gian besar jumlah
rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini hanya terdapat
sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam
peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik,
menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti
Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas
menyangkut tuntutan atau harapan akan
dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting,
maka dia menuntut rakyat menunjukkan
kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat
dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan
disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik,
yaitu politik dikembangkan berdasarkan
ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha
percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan
yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi
politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu
sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite
berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus
menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
<!--[if !supportLists]-->D. <!--[endif]-->SOSIALISASI
PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
<!--[if
!supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Pengertian
Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari
fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga
baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan
sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan
oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman
serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian
individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat
memperoleh
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak
menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini
mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi.
Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada
keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu
disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan
tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi
dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang
dihasilkan stagnasi
<!--[if
!supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Pengertian
Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi
politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan
pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya,
meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya
tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana
beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
a.
David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi
sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan
sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau
yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan
manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
b.
Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk,
dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
c.
Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana
individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku,
dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu
jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan
standar-standar dari kelompoknya.
d.
Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu
pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang
tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara
baru dan mereka yang menginjak dewasa.
e.
S.N. Eisentadt, dalam From
Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan
dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara
bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed
disebut dengan transmisi kebudayaan.
f.
Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana
seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
g.
Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap
dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut,
dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan
Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi
politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus
selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang
berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi,
nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana
berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media
massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak
kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik,
sebagai berikut.
a.
Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil
belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
b.
memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku
individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi,
berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan
sikap-sikap.
c.
sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak
dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi
berlangsung sepanjang hidup.
d.
bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan
bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan
penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael
Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan
definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis,
sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak
membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang
diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel
penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan
dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih
lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental
bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua
: adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik
yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa
berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak
perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat
memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa
secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak
bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar
sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara
tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai
batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung
mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott
menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi
dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan
sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan
mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa
lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian
bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak
realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh
pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman
tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik
adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa
ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun
hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran
terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada
perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut.
Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif
terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi
apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem
politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
<!--[if
!supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Proses
Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik
diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika
Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh
tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan
lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa
mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan
negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh
simbol-simbol otoritas umum, seperti
agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang
lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan
warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat
penting. Menurut Easton dan Hess,
anak-anak mempunyai gambaran
yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
a.
Pengenalan otoritas melalui
individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
b.
Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang
ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan
pejabat pemerintah.
c.
Pengenalan mengenai
institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung,
dan pemungutan suara (pemilu).
d.
Perkembangan pembedaan antara
institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat
dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai
pengasuhan anak yang dilakukan oleh
berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
a.
Tradisi; terutama
agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi
pada umumnya
b.
Prestasi; ketekunan,
pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas
sosial.
c.
Pribadi; kejujuran,
ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
d.
Penyesuaian diri; bergaul
dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan
dan ketentraman.
e.
Intelektual; belajar
dan pengetahuan sebagai tujuan.
f.
Politik; sikap-sikap,
nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan
mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan
sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang
paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga
inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
<!--[if
!supportLists]-->2) <!--[endif]-->Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education
(pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan
berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai
politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis.
<!--[if
!supportLists]-->3) <!--[endif]-->Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan
peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah
merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat
kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image”
memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat
dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi
terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert
Le Vine yang telah menyelidiki
sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan
kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama
dan ditandai ciri karakteristik oleh
permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang
sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.
<!--[if
!supportLists]-->4. <!--[endif]-->Sosialisasi Politik
dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat
berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal
ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk
mempengaruhi maupun untuk mempermudah
mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki,
tidak hanya secara material, tetapi
juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine,
terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat
berkembang, yaitu sebagai berikut :
a.
Pertumbuhan penduduk di
negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk
"memodernisasi" keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
b.
Sering terdapat perbedaan yang besar
dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis
kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada
nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat
sosialisasi dini dari anak.
c.
Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu
dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan
nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga
terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah
perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitaskomunitas
kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
<!--[if
!supportLists]-->5. <!--[endif]-->Sosialisasi Politik
dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang
bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan
dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat
dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan,
semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam
satu pemerintahan non totaliter, akan
semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
totaliter sifat perubahan politik,
semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang
nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima
negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,
mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh
penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang
cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf
tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan
orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa
hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap
yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun
demikian, para respondennya
merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,
sejauh mana suatu sistem
politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem
politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat,
kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi
penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
<!--[if
!supportLists]-->6. <!--[endif]-->Sosialisasi Politik
dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman
merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar
secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang
manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan
pengalaman si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar
peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga
suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi
politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat
yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik
negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung
berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini
dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder
yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka.
Menurut G. A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam
sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak
berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun
batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan
masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga
berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut
pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem
masyarakat yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi
politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki
oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat
sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan
terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil
proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang
mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim
terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.
Berikut adalah bagan
terbentuknya sikap politik (political attitude) melalui proses
sosialisasi politik.
Early Childhood
(Masa
kanak-kanak)
|
Afective Allegiance
(Sikap
kesetiaan)
|
Adolescence
(Masa remaja)
|
Cognitive and critical orientations
(Pemahaman
dan tujuan untuk mengkritisi)
|
Cognitive partisanship
(Pemahaman
yang berpihak)
Afective partisanship
(Sikap yang
berpihak)
|
Cognitive partisanship
(Pemahaman
yang berpihak)
|
Awareness of policy outputs
(Kesadaran
terhadap kebijakan output)
|
Awareness of ability to influence
policy
(Kesadaran
untuk mempengaruhi kebijakan)
|
Dalam proses sosialisasi
politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan
struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu
sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok
sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela,
media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat
berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan,
relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses
tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi
politik bisa bersifat nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam bentuk
transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output
sistem politik.
|
Dalam bentuk transmisi
informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output
mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap
terhadap peran, input dan output sistem politik yang analog (adanya
persamaan).
|
Dalam suatu bangsa yang
majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang
diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis
baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang,
pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat
terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam
menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar.
Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude)
diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda
dari kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang
sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi
relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai
sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat
kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan
demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan
media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa
atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol
terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera
mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan
pemerintah.
<!--[if
!supportLists]-->A. E. <!--[endif]-->PERAN SERTA
BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
<!--[if
!supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Pengertian
Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya
politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi
politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan
struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok
kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini
merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik
(partisipan).
Bagi sebagian kalangan,
sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran
formulasi bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa
kebijakan politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut
mengawasi dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya
gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai
berikut :
<!--[if
!supportLists]-->a. <!--[endif]-->Modernisasi dalam segala
bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut
dalam kekuasaan politik.
<!--[if
!supportLists]-->b. <!--[endif]-->Perubahan-perubahan struktur
kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan
politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi
politik.
<!--[if
!supportLists]-->c. <!--[endif]-->Pengaruh kaum intelektual dan
kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke
bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi
yang cukup matang.
<!--[if
!supportLists]-->d. <!--[endif]-->Konflik antar kelompok
pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah
dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat
yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
<!--[if
!supportLists]-->e. <!--[endif]-->Keterlibatan pemerintah yang
meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup
aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi
akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
<!--[if
!supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Konsep
Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal
adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang
partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi
begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)
dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi
politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada
umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya
apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat
? apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ?
apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan
ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan
tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab
berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang
secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep
partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
|
Konsep
|
Indikator
|
Kevin R. Hardwick
|
Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara
warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya
menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik
agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Terdapat interaksi antara
warga negara dengan pemerintah
<!--[if
!supportLists]-->·
<!--[endif]-->Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi
pejabat publik.
|
Miriam Budiardjo
|
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Berupa kegiatan individu
atau kelompok
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Bertujuan ikut aktif dalam
ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan
publik.
|
Ramlan Surbakti
|
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara
biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi
hidupnya.
Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara
biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan politik.
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Keikutsertaan warga negara
dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Dilakukan oleh warga negara
biasa
|
Michael Rush dan Philip Althoft
|
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai
pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Berwujud keterlibatan
individu dalam sistem politik
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Memiliki tingkatan-tingkatan
partisipasi
|
Huntington dan Nelson
|
Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private
citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh
pemerintah.
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Berupa kegiatan bukan
sikap-sikap dan kepercayaan
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Memiliki tujuan mempengaruh
kebijakan publik
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Dilakukan oleh warga negara
preman (biasa)
|
Herbert McClosky
|
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela
dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum.
|
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Berupa kegiatan-kegiatan
sukarela
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Dilakukan oleh warga negara
<!--[if !supportLists]-->· <!--[endif]-->Warga negara terlibat dalam
proses-proses politik
|
Berdasarkan beberapa defenisi
konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik
tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang
dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan,
atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan
oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup
kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara
biasa.